Masyarakat Tengger |
Suku Tengger adalah suku yang bermukim
di sekitar Gunung Bromo, dimana Gunung Brahma (Bromo) ini milik 4 kabupaten. Selain
di Bromo, suku ini juga tersebar di Kabupaten Pasuruan, Lumajang, Probolinggo,
dan Malang. Suku Tengger merupakan sub suku jawa. Orang- orang Tengger yang diyakini
sebagai keturunan asli Majapahit ini
mayoritas menganut agama Hindu. Kata “Tengger” berasal dari Legenda Roro Anteng
dan Joko Seger.
Walaupun menggunakan bahasa Jawa dalam
kehidupan sehari-hari, suku ini memiliki dialek turunan bahasa Kawi dan mempertahankan
kalimat-kalimat kuno yang tidak lagi digunakan dalam bahasa Jawa modern. Mata pencaharian
mereka antara lain petani sayur kembang kol, bawang prei, dan kentang.
Masyarakat Tengger di Ladang Bawang Prei |
Ladang Bawang |
Dalam kehidupan sehari-hari, suku Tengger
hidup berselaras dengan alam. Mereka tetap menjaga kesakralan Gunung Bromo
dengan tidak merusak lingkungan, bersikap baik, dan memegang teguh adat
istiadat. Orang Tengger meyakini bahwa alam akan mendatangkan bencana jika
kehidupan selaras ini tidak lagi berjalan. Kepercayaan inilah yang membuat masyarakat
di sekitar Gunung Bromo dapat hidup rukun dengan penduduk lain yang memiliki keyakinan
berbeda.
Tata Cara Memakai Sarung dalam Budaya
Tengger Tipikal Rumah di Sekitar Gunung Bromo: Sederhana dan Bersahaja “Tiang
Tengger” atau Orang Tengger telah mengenal sarung sejak turun temurun. Selain
untuk melindungi tubuh dari udara dingin pegunungan, sarung juga memiliki tata
cara pemakaian dan makna tersendiri.
Berikut ini adalah 7 cara memakai sarung
ala penduduk Tengger:
1. Kekaweng:
Sarung dilipat dua kemudian disampirkan ke pundak bagian belakang dan kedua
ujungnya diikat menjadi satu.Cara bersarung seperti ini digunakan untuk
kegiatan sehari-hari yang membutuhkan keleluasaan bergerak seperti ke pasar dan
mengambil air. Jika bertamu atau melayat tidak diperkenankan bersarung
kekaweng.
2. Sesembong:
Dipakai dengan cara dilingkarkan ke pinggang kemudian diikat di antara dada dan
perut agar tidak mudah lepas. Biasa digunakan ketika melakukan pekerjaan yang lebih
berat seperti berladang.
3. Sempetan
(atau sempretan dalam bahasa Jawa): Sarung dikenakan seperti biasa dan dilipat
di bagian pinggang. Digunakan untuk menunjukkan soan santun ketika sedang
bertamu.
4. Kekemul:
Ketika sedang bersantai atau sekedar berjalan-jalan, sarung dipakai di badan.
Bagian atas dilipat untuk memutupi kedua tangan dan digantungkan di bahu.
5. Sengkletan:
Ketika bepergian dan ingin terlihat rapi, sarung disampirkan di bahu secara
terlepas atau bergantung menyilang pada dada.
6. Kekodong:
Jika sedang berkumpul di upacara adat atau keramaian lain di malam hari, sarung
dikerudungkan sampai menutup seluruh bagian kepala dan diikat di bagian
belakang kepala sehingga yang terlihat hanya mata saja.
7. Sampiran:
Anak-anak muda Tengger juga punya cara bersarung lho! Kain disampirkan di
bagian atas punggung, kemudian kedua lubangnya dimasukkan pada bagian ketiak
dan disangga ke depan dengan kedua tangan.
Warga
Tengger bersarung yang dapat dengan mudah ditemukan di sekitar Argosari
Saking eratnya dengan kehidupan sehari-hari,
ada yang bilang bahwa orang Tengger merasa belum lengkap berbusana jika belum mengenakan
sarung. Uniknya, sarung ini tidaklah sama seperti yang biasa kita temui di
pasaran. Harganya berkisar antara Rp.
100.000 – Rp. 300.000. Harga yang sebanding untuk ditukar dengan sehelai sarung
berbahan tebal dan bertekstur lembut.
Motif asli Tengger dominan berwarna hijau tua. Namun, ada juga sarung-sarung
berwarna lebih terang karena pengaruh motif Nusa Tenggara dan Madura. Jika kamu
adalah kolektor kain nusantara, mungkin sarung Tengger bisa jadi objek hunting
oleh wisatawan ataupun fotografer.
Foto by : AJANG
PHOTOGRAHY (Asli Jepretan Lumajang)
Penulis : Muhammad
KhoirulAnam
Editor :
Muhammad Khoirul Anam
Sumber : Wikipedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar. Terima Kasih..