Pemberontakan Patih Nambi, Sejarah
Kabupaten lumajang
( EPISODE PEMBERONTAKAN PATIH NAMBI) IBU KOTA MAJAPAHIT BAGIAN TIMUR )
Pada masa berdirinya Kerajaan Majapahit dengan rajanya Nararyya
Sanggramawijaya yang mengambil nama abhiseka Kertarajasa Jayawardana atau yang
lebih dikenal dengan nama Raden Wijaya, Lumajang merupakan ibu kota Majapahit
bagian timur dengan penguasanya bernama Arya Wiraraja. wilayah
barat dan timur dipicu oleh kekecewaan Arya Wiraraja atas kematian Ranggalawe,anak
Arya Wiraraja, yang memberontak terhadap raja. Lagi pula pembagian wilayah
tersebut sesuai dengan janji Raden Wijaya ketika Raden Wijaya mengungsi ke
Sumenep. Pembagian wilayah Majapahit, menjadi Sejarah berdirinya Kerajaan
Majapahit memang tidak bisa dipisahkan dengan peranan Arya Wiraraja. Arya
Wirarajalah yang secara tidak langsung membidani lahirnya Kerajaan Majapahit.
Arya Wiraraja, disebut pula Banyak Wide, adalah Adipati Sumenep,’ Madura.
Semula ia termasuk rakyanri pakiran-pakiran makabehan (golongan pejabat tinggi
yang berfungsi sebagai Badan Pelaksana Pemerintahan yang terdiri dari patih,
demung, kanuruhan, tumenggung, dan rangga). Tugas pokoknya adalah mengatur
rumah tangga kerajaan (kerajaan Singosari dengan rajanya Sri Kertanegara).
Sebagai demung yang cakap, Arya Wiraraja sangat dekat dengan Sri
Kertanegara. Kedekatan hubungannya dengan Raja Singosari Sri Kertanegara
membuatnya dijuluki babatanganira, yang berarti kekuatan pokok pemerintahan.
Namun, karena pertentangannya dengan Sri Kertanegara, seputar pengiriman
prajurit Singosari untuk menundukkan Swarnabumi (Sumatera dalam Ekspedisi
Pamalayu), Arya Wiraraja diturunkan jabatannya menjadi Adipati Tumenggung dan
ditempatkan di Sumenep, Madura Timur. Ditunjuk sebagai penggantinya adalah
Mapanji Wipaksa (Piagam Penampihan).
Ketika Sanggramawijaya mengungsi ke Sumenep guna menghindari kejaran
pasukan pemberontak, yaitu prajurit-prajurit Jayakatwang yang menyerang
Singosari. Sanggramawijaya disarankan untuk berpura-pura tunduk dan menyerah
kepada Jayakatwang. Diperlukan sikap pura-pura untuk kembali merebut tahta,
demikian siasat Arya Wiraraja. Sanggramawijaya menyetujuinya dan dalam
kesempatan itu ia berjanji akan menyerahkan separo wilayah kerajaannya kepada
Arya Wiraraja apabila ia berhasil menjadi raja. Arya Wiraraja menanggapi janji
itu hanya dengan tersenyum.
Apabila Arya Wiraraja berusaha sekuat tenaga mengembalikan tahta Singosari
kepada Sanggramawijaya, hal itu ia lakukan semata-mata karena kecintaannya yang
mendalam kepada Singosari. Arya Wiraraja tidak berambisi meraih kekuasaan.
Andaikata janji untuk menyerahkan separo wilayah kerajaan itu diingkari sekalipun,
Arya Wiraraja akan tinggal diam.
Akan tetapi, lain lagi ceritanya setelah Ranggalawe tewas. Ranggalawe
adalah anak laki-laki Arya Wiraraja. Ia seorang pribadi yang jujur, tegas,
setia, pemberani, dan nada suaranya keras menghentak. Nama Ranggalawe merupakan
pemberian Sanggramawijaya. Lawe atau wenang artinya benang pengikat atau penghubung
karena ia adalah pengikut kuat antara Sanggramawijaya dengan Arya Wiraraja. Akan
tetapi hubungan Arya Wiraraja dengan Sanggramawijaya menjadi kendor setelah
tewasnya Ranggalawe karena Ranggalawe dianggap memberontak terhadap raja. Timbulnya
pemberontakan Ranggalawe akibat pengangkatan Empu Nambi sebagai patih mangkubu-
mi.
Ranggalawe merasa iri terhadap Nambi. Ia mengharapkan pengangkatannya
sebagai Patih Mangkubumi karena ia banyak berjasa dalam pembukaan hutan Tarik
dan pengusiran tentara tar-tar. Lagipula ia putera Arya Wiraraja, tokoh yang
berdiri di belakang layar dalam pendirian Kerajaan Majapahit. Ia sangat kecewa
dengan pengangkatannya sebagai adipati mancanegara di Dataran (Tuban).
Pemberontakan berhasil dipadamkan dan Ranggalawe mati terbunuh secara
kejam oleh Mahisa Anabrang. Ketika Lembu Sora mengetahui bahwa Ranggalawe
dianiaya oleh Mahisa Anabrang di tepi Sungai Tambakberas, Lembu Sora dengan
serta merta menusuk Mahisa Anabrang dari belakang sehingga Kebo Anabrang tewas.
Setelah peristiwa itu Arya Wiraraja menetap di Lumajang. Bersama Pranaraja
Empu Sina (ayahanda Patih Nambi), kedua pembesar Majapahit itu menjalankan roda
pemerintahan di Lumajang dengan amanah. Keduanya menjalankan konsep mukti dalam
pemerintahannya. Mukti yaitu kesediaan atasan untuk mengulurkan kasihnya
kepada yang lebih bawah. Sebagai imbangan mukti adalah bakti, yaitu berbakti
kepada atasan karena hasrat untuk meluhurkan pemimpinnya. Hal ini terbukti
dengan bagaimana rakyat Lumajang yang tanpa dikomando, bergerak mengangkat
senjata untuk membela pemimpinnya yang dituduh memberontak kepada raja dalam
peristiwa Pemberontakan Patih Nambi.
PEMICU PEMBERONTAKAN
Empu Nambi atau lebih populer disebut Patih Nambi adalah putera dari Empu
Sina. Adalah Empu Sina, oleh karena jasa-jasanya yang besar dalam pendirian
Majapahit, Sri Kertarajasa mengangkat Empu Sina selaku Pasangguhan. Jabatan ini
dapat disamakan dengan Panglima Besar Angkatan Perang. Ada empat jabatan
Pasangguhan dalam zaman awal Majapahit, yakni, Mapasangguhan Sang Pranaraja,
dipercayakan kepada Empu Sina, Mapasangguhan Sang Nayapati, dipercayakan kepada
Empu Lunggah, Rakyan Mantri Dwipantara, dipercayakan kepada Sang Adikara dan
Pasangguhan Sang Arya Wiraraja.
Setelah peristiwa pemberontakan Ranggalawe, wilayah Majapahit dibagi dua
bagian, yaitu wilayah Majapahit bagian barat dan wilayah Majapahit bagian timur
dengan Lumajang sebagai ibu kotanya. Pranaraja Empu Sina pun tinggal di Paj
arakan (sekarang termasuk wilayah Kabupaten Probolinggo), menemani Arya
Wiraraja yang berkedudukan di Lumajang.
Sebagaimana yang telah disinggung di bagian depan, terjadinya pemberontakan
Ranggalawe dipicu oleh pengangkatan Nambi sebagai Patih Mangkubumi. Dalam
hirearki pemerintahan Majapahit, jabatan yang diberikan kepada Nambi adalah
kedudukan yang sangat tinggi. Ranggalawe menganggap bahwa Sri Kertarajasa
telah mencederai keadilan, dan karenanya Ranggalawe memilih untuk beroposisi.
Sesungguhnya Ranggalawe bukanlah pribadi yang gila hormat dan jabatan. Ia
bukan pula seorang penjilat, juga bukan sosok yang harus bersiasat untuk
menyingkirkan pesaingnya demi mendapatkan jabatan. Sebaliknya ia sosok yang
jujur, suka berterus terang, dan berani menggebrak tanpa ragu terhadap hal
yang dianggap mencederai keadilan. Ia kukuh memegang janji, dan janji yang
diterimanya dianggap sama dengan janji yang diucapkan. Dan, ia telah dijanjikan
untuk menduduki jabatan Patih Mangkubumi, langsung oleh Sanggramawiya, sebelum
Sanggramawiya bertahta.Tak hanya sekali janji itu dilontarkan kepadanya, dan
bukan ia sendiri yang mendengarnya,melainkan banyak orang. Namun, penguasa
Majapahit itu mengingkari janjinya, menjilat ludah sendiri.Ternyata jabatan
yang dijanjikan justeru diberikan kepada orang lain, sedang ia diberi kedudukan
sebagai Adipati Mancanegara di Dataran(Tuban).
Maka Ranggalawe pun melakukan protes. Akan tetapi protes Ranggalawe oleh
orang-orang yang mempunyai kepentingan dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi
dan golongan. Protes Ranggalawe lalu dipolitisir sedemikian rupa sehingga
muncul opini publik yang menyatakan bahwa Ranggalawe melakukan makar. Hingga
abad-abad selanjutnya, sejarah memberikan catatan buruk atas diri Ranggalawe.
Cap Ranggalawe sebagai pemberontak seakan tidak dapat dipisahkan dari pribadi
Si Wenang, yaitu benang pengikat kuat antara Sanggramawijaya dengan Arya
Wiraraja.
Seperti halnya Ranggalawe, Nambi pun bukan pribadi yang gila hormat dan
jabatan. Bahkan ia dikenal sebagai pribadi yang polos, jujur, sederhana dan
rendah hati. Sesungguhnya ia menyadari bahwa kedudukan Patih Mangkubumi tidak
layak diterimanya. Akan lebih tepat diberikan kepada Ranggalawe mengingat akan
jasa-jasa putera Arya Wiraraja itu dalam pembukaan hutan Tarik dan pengusiran
tentara Ku Bhilai Khan. Alasan itu juga sudah disampaikan kepada Sang Prabu
menjelang upacara serah terima jabatan. Akan tetapi Sang Kertarajasa bersikukuh
mempercayakan jabatan itu kepada Nambi. Tentunya hal itu sudah melalui berbagai
pertimbangan yang hanya Kertarajasa sendiri yang mengetahui. Mau tidak mau,
Nambi harus menjalankan titah raja. Bukankah titah seorang raja itu bersifat
mutlak, sabda pandhita ratu tan kena wola- wali,artinya titah seorang raja itu
hanya sekali.
Namun demikian, Nambi selalu diliputi perasaan was-was. Firasatnya
mengatakan bahwa keputusan itu akan menimbulkan perasaan tidak puas di kalangan
para pembantu Kertarajasa yang lain, dan kondisi itu kemudian dimanfaatkan oleh
orang-orang yang memiliki “kepentingan”. Ternyata kekhawatiran Nambi terbukti.
Pada awal pemerintahan Sri Kertarajasa, Kerajaan Majapahit diguncang oleh
kekisruhan politik yang ditandai dengan timbulnya pemberontakan-pemberontakan.
Suara PGRI edisi 29,
April 2012, Lumajang, PGRI Kab. Lumajang, Th. 2010 45-46
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Berkomentar. Terima Kasih..